Wednesday, November 28, 2018

Sop Buntut Ma’emun Bogor : Sop Buntut Legendaris Langganan Istana



Hujan yang mengakrabi Kota Bogor, ada baiknya dihadapi dengan sesuatu yang membawa kehangatan di hati.

Semangkok sop buntut dengan kuahnya yang mengepul bisa menjadi salah satu pilihan.

Sop buntut Ma’emun bisa dibilang sop buntut legendaris di ”Kota Hujan”.

Nama Ma’emun berasal dari nama Siti Maemunah, sang pendiri yang dipanggil Mak Emun oleh anak-anak dan orang-orang di sekitarnya.

Di warung-warung yang mewarisi resepnya, nama Mak Emun ditulis sebagai Ma’emun.Ciri khas sop buntut Ma’emun adalah daging buntutnya yang empuk dan mampu terlepas dari tulangnya, tetapi masih menyisakan sedikit rasa kenyal. Meskipun sangat empuk, penampilan dagingnya saat dihidangkan terkesan segar dengan bagian dalam masih menampakkan warna sedikit kemerahan. Untuk memperoleh rasa daging yang empuk, buntut sapi direbus selama berjam-jam.

Dengan begitu, lemak yang terkandung dalam daging pun bisa ikut keluar dan memberi cita rasa gurih.Untuk mengimbangi rasa gurih itu, daging buntut dihidangkan bersama potongan wortel, kembang kol, dan irisan daun bawang yang dimasak terpisah. Di atasnya ditaburi irisan daun seledri dan bawang goreng.

Agar tidak hancur saat dimasak, kumpulan potongan daging buntut diikat dengan lilitan tali bambu muda.Jika pembeli berkehendak, daging dipertahankan dalam lilitan tali bambu saat disajikan.Namun, pada umumnya, daging buntut dihidangkan dalam keadaan sudah terpisah dari lilitan tali bambu. Ada tiga atau empat kelompok besar daging yang disajikan dalam mangkok bersama sayuran.

Penerusnya tidak ingat persis tahun berapa Ma’emun mulai membuka warung sop buntutnya.Salah seorang cicitnya, Nuni Apriyani (31), mengingat cerita, dulu nenek buyutnya itu sebenarnya berjualan soto dengan cara mangkal di bawah pohon.Suatu hari, halaman rumahnya digunakan sebagai tempat untuk menyembelih hewan kurban saat Idul Adha.

Ma’emun kemudian diminta memasak sop buntut dari buntut sapi hewan kurban.Rupanya, masakan Ma’emun yang lezat meninggalkan kesan di lidah banyak orang. Sejak itu, Ma’emun mulai berjualan sop buntut.

Kini warisan resepnya diteruskan dalam wujud empat warung sop buntut yang menggunakan nama Ma’emun.Masing-masing dikelola oleh cucu dan cicitnya, yakni Sop Buntut Ma’emun yang dikelola Ibu Nunung dan Sop Buntut Mang Endang (Incu Ma’emun).

Lokasi keduanya hanya terpaut 100 meter di Jalan Sudirman. Ada pula Sop Buntut Ma’emun (Bu Imas) di Jalan Bangbarung Raya Nomor 1 dan Sop Buntut Ma’emun di Jalan Sancang yang dikelola Ibu Pipit. Nunung, Imas, dan Pipit adalah kakak beradik cucu dari Ma’emun, sedangkan Endang adalah saudara sepupu ketiganya yang juga cucu Ma’emun.

Resep sama

Keempatnya menggunakan resep yang sama. Hanya isian sayuran saja yang sedikit bervariasi. Kalau kemudian dirasakan ada perbedaan rasa, itu dipengaruhi tangan pemasaknya.Misalnya, di Warung Sop Buntut Ma’emun yang dikelola Nunung, rasa kuah sopnya cenderung lebih gurih dan sedikit kental dengan daging yang empuk.Sementara, jika ingin menikmati sop buntut dengan cita rasa yang lebin ringan, bisa mengunjungi Warung Sop Buntut Ma’emun (Ibu Imas) di Jalan Bangbarung Raya.

”Kalau untuk resep, semua sama saja. Tinggal bagaimana masing-masing memasaknya,” kata Nuni, anak Nunung yang turut mengelola warung.

Menurut Nuni, setiap anggota keluarga Ma’emun diperbolehkan membuka warung dengan menggunakan resep sop buntut dan nama Ma’emun.Namun, prosesnya harus melalui persetujuan dan rembuk keluarga.Nuni sendiri mengaku belum berani ikut memasak. Ia lebih banyak mengurusi kasir dan keuangan.

”Yang masak ibu. Saya tahu resep dan konsistensi rasanya, tetapi belum berani turun ke dapur. Paling bantu-bantu mengikat daging,” kata Nuni seraya menyebutkan resep sop buntut yang berisi bawang putih, bawang merah, lada, dan daun bawang.

Demikian pula dengan sepupu Nuni, Ira Harinisa (32) yang lebih banyak mengurusi kasir di warung. Sang ibu, Imas, yang memasak sop buntut.

”Kalau tamu lagi ramai, tenaga kerja kewalahan, saya ikut turun melayani tamu,” kata Ira.

Keempat warung ini paling ramai pada jam makan siang selain pada saat sarapan.Warung akan tutup ketika persediaan buntut yang dimasak habis.Biasanya tidak lama setelah waktu makan siang.Bahkan, di akhir pekan, menurut Ira, sop buntutnya bisa habis hanya dalam 1-2 jam saja.Di akhir pekan, warung sop buntut Ma’emun akan rampai oleh orang Jakarta yang berpelesir ke Bogor.Warung buka setiap hari, kecuali saat Idul Fitri, Idul Adha, dan ada acara keluarga.

Terbatasnya pasokan bahan baku, yakni buntut, membuat keempat warung hanya menyajikan sop sesuai ketersediaan buntut.Sekali-sekali pernah terjadi, ketiadaan pasokan buntut membuat warung terpaksa libur.

”Kami pakai buntut segar yang dibeli langsung dari pejagalan. Kalau pakai buntut yang dibekukan, nanti hasilnya benyek,” kata Nuni.

Favorit di kalangan istana

Sop buntut Ma’emun rupanya menjadi favorit kalangan Istana Bogor, setidaknya seperti diceritakan Ira dan Nuni.Menurut Ira, warungnya pernah kedatangan orang yang memesan sop buntut untuk disuguhkan kepada presiden.Saat itu, masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

”Kalau Pak SBY sih memang belum pernah datang langsung.

Namun, orang istana yang datang menginformasikan kalau sop buntut itu untuk Pak SBY. Biasanya yang dipesan sop buntut dan emping,” kata Ira.Pesanan sop buntut juga datang ke warung yang dikelola Nunung dan Nuni. Beberapa kali, pesanan itu diiringi dengan warungnya yang kemudian ramai dijaga oleh petugas berseragam.

”Pernah pesan 100-150 porsi. Kalau pas ke sini, jalanan di depan ramai dijaga petugas dan PM (polisi militer),” kata Nunung.

Sumber :  Tribunnews.com






0 comments:

Post a Comment